“Aku telah mengalami penderitaan disekap dalam penjara,
kehausan, dan lapar hanya demi mempertahankan Kebenaran.
Bagiku rasa sakit hanya teruntuk ragaku bukan jiwa ini.
Aku menderita diluar batas ketahananku,
sebab aku berpaling kearah kenestapaan lahir batin
yang kalian alami. Suara tangis itu mengiang-ngiang
ditelingaku dan bergema di seluruh relung penjara,
aku tidak pernah merasa gentar,
hati ini juga tidak pernah letih,
sebab tangis pedih kalian menyuntikkan semangat
yang menyala pada diriku setiap hari.
Tanyakan pada diri kalian sendiri, sekarang juga
“Kapan kita menangis minta pertolongan,
dan siapa diantara kita yang berani buka mulut?”
“Aku katakana, jiwa-jiwa kalian menjerit setiap saat,
menjerit minta tolong setiap malam,
namun kalian tidak dapat mendengar semua itu.
Bukankan orang yang sekarat tidak bisa mendengarkan
gemeretaknya batin yang hancur terkoyak dalam dirinya sendiri,
sedang mereka yang berdiri disampingnya begitu jelas
mendengar suara itu. Bukankah seekor burung
yang tertembak menari-nari dengan sakitnya
dan tidak tahu menahu kematian akan menjemput,
tapi mereka yang menyaksikan
tarian itu paham betul apa maksudnya.”
Ketika hari beranjak menuju siang,
ia dipindahkan dari polres ke Kejaksaan,
musim berganti tak terasa menuju musim yang baru,
satu musim sudah ia mendekam
dalam jeruji besi yang angkuh,
penuh dengan rayap-rayap perampas kemerdekaan
yang tak pernah tahu arti kemerdekaan itu sendiri,
berjalan dengan sombongnya dibalut dengan
bingkai kain dan atribut dari Negara
yang dapat menjelma menjadi seorang
yang superior diantara para
cecunguk-cecunguk (mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka)
yang mencoba membela hak dan kebebasannya.
Ia menjadi sangat terasing didunia baru
yang tak pernah memancarkan aura kebaikan,
bahkan yang terlihat hanyalah aura kejahatan .
(Untuk Dadan Januar "Kebon Waru" Pembakaran Bendera Merah Putih)
kehausan, dan lapar hanya demi mempertahankan Kebenaran.
Bagiku rasa sakit hanya teruntuk ragaku bukan jiwa ini.
Aku menderita diluar batas ketahananku,
sebab aku berpaling kearah kenestapaan lahir batin
yang kalian alami. Suara tangis itu mengiang-ngiang
ditelingaku dan bergema di seluruh relung penjara,
aku tidak pernah merasa gentar,
hati ini juga tidak pernah letih,
sebab tangis pedih kalian menyuntikkan semangat
yang menyala pada diriku setiap hari.
Tanyakan pada diri kalian sendiri, sekarang juga
“Kapan kita menangis minta pertolongan,
dan siapa diantara kita yang berani buka mulut?”
“Aku katakana, jiwa-jiwa kalian menjerit setiap saat,
menjerit minta tolong setiap malam,
namun kalian tidak dapat mendengar semua itu.
Bukankan orang yang sekarat tidak bisa mendengarkan
gemeretaknya batin yang hancur terkoyak dalam dirinya sendiri,
sedang mereka yang berdiri disampingnya begitu jelas
mendengar suara itu. Bukankah seekor burung
yang tertembak menari-nari dengan sakitnya
dan tidak tahu menahu kematian akan menjemput,
tapi mereka yang menyaksikan
tarian itu paham betul apa maksudnya.”
Ketika hari beranjak menuju siang,
ia dipindahkan dari polres ke Kejaksaan,
musim berganti tak terasa menuju musim yang baru,
satu musim sudah ia mendekam
dalam jeruji besi yang angkuh,
penuh dengan rayap-rayap perampas kemerdekaan
yang tak pernah tahu arti kemerdekaan itu sendiri,
berjalan dengan sombongnya dibalut dengan
bingkai kain dan atribut dari Negara
yang dapat menjelma menjadi seorang
yang superior diantara para
cecunguk-cecunguk (mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka)
yang mencoba membela hak dan kebebasannya.
Ia menjadi sangat terasing didunia baru
yang tak pernah memancarkan aura kebaikan,
bahkan yang terlihat hanyalah aura kejahatan .
(Untuk Dadan Januar "Kebon Waru" Pembakaran Bendera Merah Putih)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home